Yanti dan Suara Cita Sisi Utara Kota Jakarta

Tahun 2019 adalah tahun kelima bagi Yanti (12), bekerja sebagai pengupas kerang di Kampung Nelayan wilayah Muara Angke, Jakarta Utara. Setiap Senin hingga Jum’at, Yanti menjalankan rutinitas duduk di antara miliaran kerang yang harus ia kupas satu-persatu, selama enam hingga delapan jam setiap harinya.


Tahun 2019 adalah tahun kelima bagi Yanti, meninggalkan bangku sekolah dasar di kampung halamannya, Indramayu, Jawa Barat. Setiap Senin hingga Jum’at, Yanti tidak lagi menjalankan rutinitas layaknya anak seusia dirinya, yang kerap di suapi ilmu-ilmu dasar dalam lingkungan sekolah formal, berbincang tentang hal-hal kekinian, bermain dan bergurau menikmati hari-hari indah bersama teman sepantaran setiap harinya.





 

“Sekarang tabunganku sudah banyak, ya ada sekitar lima ratus ribuan lah, hehe..,” canda Yanti, pada saya, yang berkesempatan mengunjunginya November 2018 lalu.

Dengan upah rata-rata Rp 45,000,- hingga Rp 60,000,-/orang/hari, dirinya diharuskan membantu bekerja hampir sepanjang hari sebagai pengupas kerang. Upah bekerja Yanti selalu ia berikan kepada orang tuanya, dibelanjakan untuk barang jualan seperti makanan ringan, dan ditabung jika masih tersisa.

“Habis kerja, baru deh aku baca-baca buku sebelum tidur, sambil mimpi bisa jadi Dokter,” tawa Yanti, malu-malu.





Banyak anak di kampung Nelayan, kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, putus sekolah dan kehilangan sebagian hak bermainnya sebagai anak. Permasalahan ekonomi dan juga buta huruf menjadi hal wajar di lingkungan tersebut.

Dengan segala dinamika yang ada, sisi lain dari elok wajah ibu kota Jakarta mementaskan panggung dan beragam cerita yang menarik untuk di tela'ah. Namun, keinginan anak-anak di sana masih tinggi untuk dapat bersekolah. Menjadi saksi bisu harapan dan angan yang besar banyak anak untuk bisa mendapatkan hak-nya kembali.





Popular Posts